Bayangkan, gadis muda ini lahir dan tumbuh di sebuah desa yang
seluruh masyarakatnya memercayai mitos, bahwa kalau ada anak gadis yang
tidak juga menikah pada usia 15 tahun, maka ia akan mendapatkan suami
duda dan hidup susah. Dengan keyakinan seperti itu maka tak heran kalau
di Desa Padang, Kecamatan Tanjungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa
Tengah—tempatnya tinggal—anak-anak perempuan berumur 12 – 13 tahun sudah
pacaran.
Alih-alih ikut larut dan terbawa arus, Nurul Indriyani, putri pertama
dari dua bersaudara ini justru berniat membongkar tradisi buruk
masyarakat Grobogan dengan sebuah penelitian. Hasilnya, ia berhasil
mengungkap angka pernikahan dini di kecamatannya sangat tinggi.
“Dari penelitian itu saya mulai bergerak membangun kesadaran menikah
dini adalah persoalan serius,” ujarnya dengan logat Jawa yang kental.
Hasil penelitian itu sendiri menunjukkan, jumlah anak yang menikah dini
pada usia 13-18 tahun, mencapai 53 anak. “Saya hanya ingin memberikan
pencerahan bahaya nikah dini pada teman sekolah dan tetangga sekitar.”
Atas kepeloporannya itu Nurul Indriyani terpilih mewakili anak-anak
se-Asia Pasifik di International Day of The Girl, di PBB, New York.
“Saya terpilih mewakili remaja Asia-Pasifik dalam event itu,”
ungkapnya. Nurul mengalahkan sejumlah remaja dari berbagai negara,
antara lain dari Malaysia, Thailand, Filipina, dan China. Nurul pun
terpilih sebagai Because I Am A Girl (BIAAG) Ambassador Plan
asal Indonesia. Prestasi itulah yang mengantar Nurul harus berkeliling
ke sejumlah sekolah di New York untuk berceramah tentang penundaan nikah
dini. Plan sendiri adalah organisasi yang fokus pada upaya pemenuhan
hak-hak anak, berkepentingan mempromosikan hak-hak anak, terutama anak
perempuan. “Aktivitas Nurul, jelas sangat membantu Plan dalam
mempromosikan hak-hak anak perempuan di Indonesia,” kata Country
Director Plan Indonesia, Peter La Rauss.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar